Pendidikan Masa Lalu

Perbedaan Pendidikan Masa Lalu dan Masa Kini

Perbedaan Pendidikan Masa Lalu dan Masa Kini

Perbedaan Pendidikan Masa Lalu dan Masa Kini – INDEKS pembangunan manusia (IPM) Indonesia merosot dari peringkat 110 ke 113 dari 188 negara (United Nations Development Programme UNDP, 2017). Hasil laporan UNDP tersebut sekaligus menempatkan Indonesia dalam kategori pembangunan manusia tingkat menengah atau stagnan dari kategori tahun-tahun sebelumnya. Hal itu semua menunjukkan masih banyaknya pekerjaan rumah bagi dunia pembangunan manusia di Indonesia.

Perbedaan Pendidikan Masa Lalu dan Masa Kini

Bangsa yang ingin maju dan beradab akan terlihat dari pola pendidikan yang dilaksanakan oleh bangsa tersebut. Pendidikan merupakan penentu gerak langkah bagi kemajuan suatu bangsa. Dalam situasi Perang Dunia II, ketika Jepang dijatuhi bom atom oleh sekutu, maka Kaisar Hirohito memanggil para menterinya dan bertanya, ”masihkah ada guru yang tersisa“. Hal ini menunjukkan Jepang boleh saja hancur secara fisik, tetapi jiwa kependidikan merupakan faktor paling utama.

Pendidikan Saat ini

Dunia pendidikan kita hari ini, diakui atau tidak, sedang mengalami gejala penurunan kualitas sumber daya manusia, mulai dari tawuran antarpelajar, premanisme di kalangan pelajar, narkoba, pemerkosaan, dan berbagai aneka tindak kejahatan yang dilakukan pelajar, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Hal ini dilakukan sebagian oknum pelajar dan mahasiswa kita. Begitu juga dengan adanya tindak kekerasan oleh oknum guru yang berlebihan dalam mendidik siswa-siswanya.
Pada saat sekarang, guru sudah hampir tidak lagi mengajar dan memberikan materi lewat media papan tulis kapur. Mereka cenderung mengikuti perkembangan zaman dan perlahan di daerah-daerah yang tidak terlalu terpencil pun mengikuti penggunaan media modern seperti di kota-kota besar, seperti menggunakan media komputer untuk mengajar, dengan proyektor di setiap kelas, dan membuat Power Point untuk menyampaikan materi. Kapan pun dan di mana pun, jika ada akses internet dengan mudah kita bisa mendapatkan informasi tersebut. Akan tetapi, apakah semua itu sudah membuat pendidikan kita lebih berkualitas?
Ternyata sarana dan prasarana yang lebih baik saat ini, ditambah dengan kemampuan yang mudah untuk mengakses tekhnologi informasi dalam pembelajaran, belum menjamin meningkatnya kualitas pendidikan. Ketergantungan pada nilai akhir dari pembelajaran, tanpa memperhatikan proses belajar-mengajar, akan sangat membuka ruang pembibitan perilaku korupsi.

Pendidikan di Masa Lalu

Melihat Indonesia jauh sebelum merdeka, pendidikan dalam bentuk berdirinya sekolah sudah ada. Seperti penjajahan Belanda yang berlangsung sekitar 350 tahun telah memberikan warna tersendiri bagi pendidikan bangsa Indonesia. Di tengah tekanan penjajah, tetap ada bangsa Indonesia yang mengecap perkembangan pendidikan dan keilmuan. Tersebutlah waktu itu para pemuda Indonesia yang mengenyam pendidikan, seperti Soekarno, M Hatta, M Yamin, dan Agus Salim. Artinya, pendidikan Indonesia masa kolonial pernah menelurkan beberapa tokoh dan pakar keilmuan yang nantinya menjadi pimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Sekitar tahun ’70 sampai ’80-an, dunia pendidikan di Indonesia mulai dilirik dan disegani bangsa lain, terutama negara tetangga, seperti Malaysia. Mereka tertarik dengan kemajuan pendidikan Indonesia. Negara tersebut mengirim putra terbaiknya untuk belajar di Indonesia. Banyak pelajar dan mahasiswa dari negara tetangga tersebut yang menuntut ilmu di Indonesia, kemudian nanti setelah tamat mereka mengembangkannya di negara asal. Slot Gacor
Harus diakui dunia pendidikan saat itu masih menganut sistem pendidikan yang sangat mementingkan kualitas peserta didik. Anak-anak sekolah dasar kelas I fokus hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Tidak heran apabila kemampuan menulis, berhitung, dan membaca mereka nyaris sama baik ketika mereka sudah dewasa. Sikap dan karakter mereka pun dapat dikatakan sama dan mempunyai ciri khas sebagai murid yang sangat patuh pada guru dan orang tua. Sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi dunia bermain anak, dengan kurikulum yang tidak terlalu padat, serta pelajaran yang terfokus. Anak-anak sangat senang bersekolah dan tidak menjadi beban bagi mereka ketika tiba di sekolah dengan setumpuk PR dan macam-macam tugas lain dari gurunya.
Dukungan yang kuat dari masyarakat dan keluarga terhadap pendidikan anak-anak mereka, menciptakan lembaga-lembaga pendidikan yang benar-benar berfungsi bukan hanya tempat menimba ilmu pengetahuan, melainkan juga tempat membentuk karakter dan budi pekerti yang baik bagi anak didik. Pada masa itu, keberhasilan seorang anak tidak hanya dilihat dari bentuk angka dan ranking atau lulus dan tidak lulus, tetapi dilihat dan sangat diperhatikan juga moralitasnya. Tidak heran, banyak orang tua dan masyarakat yang menganggap biasa apabila ada anak yang belum lulus dalam ujian atau ada anak yang meraih angka rendah dalam hasil ulangannya.
Menurut Loughran (2006), norma dan yang dianut guru akan muncul dalam pembelajaran dan memengaruhi bagaimana siswa akan mengembangkan nilai dalam proses pembentukan identitas dan perkembangan pribadinya. Guru adalah identitas yang melekat dengan profesinya karena bagian dari curahan keilmuan, nilai dan karakter serta adanya semangat pengabdian yang tulus. Profesi guru dahulu tidaklah mudah, guru pada masa lampau harus siap dengan penghasilan yang boleh dikatakan cukup, akan tetapi hal ini tidak memengaruhi kinerja mereka, begitu disiplin, tekun dalam mendidik murid-muridnya.